Pada bulan Oktober 2025 di wilayah Rukun Warga 02 Gang Barjo
Kelurahan Kebon Kalapa Kecamatan Bogor Tengah terjadi bencana tanah longsor
yang merengut 5 jiwa warga RW. 02. Kini di tahun 2025 tepatnya di akhir bulan Maret
terjadi musibah amblasnya Jalan Lingkungan berupa akses tangga menuju jalan
utama Jl. Veteran dan juga pondasi SMK Yayasan Andhiga yang mengalami penurunan
tanah. Pada musibah di bulan Maret tersebut tidak menimbulkan korban jiwa hanya
saja aktivitas warga menjadi sedikit terganggu karena akses utama menuju jalan
raya terputus.
Allah mensinyalir dalam Al Quran bahwa “pasti” setiap kaum
akan diberikan berbagai musibah. Musibah
yang menimbulkan rasa takut akan
keterbatasan Resource seperti kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan), terputusnya akses seperti
informasi dan transportasi, hingga
terancamnya keselamatan harta dan nyawa.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ
وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ
الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS: Al Baqarah: 155).
Kata “pasti” pada ayat tersebut, berdasarkan petunjuk lam taukid yang bermakna
“benar-benar akan diberikan”. Isyaratnya
bahwa hendaknya kita menyiapkan diri kita, bahwa hidup tidak selalu
landai, kadang menurun, kadang
mendaki. Seperti gelombang, suka dan duka datang silih berganti. Kita mesti menyiapkan jiwa dalam segala medan
kehidupan. Karena mustahil juga kita menghindar darinya.
Kiranya kita juga perlu berpandangan yang sama, ketimbang menghindar, lebih baik kita berdamai dengan krisis
(musibah). Dengan cara menimba hikmah
dari segala musibah yang menimpa. Jika
perlu, musibah menjadi “Kampus” yang mengasuh jiwa dengan hikmah dan
ibrah. Karena sesungguhnya, Allah SWT
tidak menurunkan musibah kepada manusia,
kecuali Ia hendak mengisyaratkan sesuatu kepada manusia. Bisa karena Ia hendak menunjukkan tentang
kebijaksanaan (wisdom) yang tinggi, bisa
hendak menaikkan derajat ketakwaan sang hamba, atau bisa pula Ia hendak
mempertontonkan kedigdayaan-Nya.
Hakekat Musibah
Bagi Manusia Di Dalam Kehidupan
Musibah secara bahasa, adalah serapan dari bahasa Arab
mushibah. Secara etimologi, kata mushibah adalah masdar dari akar kata
ashaba – yushibu – mushibah yang bermakna menimpa atau mengenai. Secara terminologi bermakna ujian atau
cobaan. Dalam Al Quran kata mushibah diulang berkali-kali. Berdasarkan kitab
al-Mu’jam al-Mufradat fi Alfadz al-Qur’an al-Karim, dikatakan paling tidak ada
77 kali kata musibah disebutkan dalam al Quran. Sementara dalam Indek Al Quran
(Azharuddin Sahil, 2007) dikatakan terulang 13 kali.
Perbedaan ini terjadi berdasarkan pengkategorian kata, bisa
dalam bentuk fi’il madhi, mudhari atau masdar. Sedangkan pada indeks Al Quran
yang ditulis Azharuddin, 13 kali menggunakan kata musibah dan ada 2 ayat (Qs.
Ar-Rum:36 dan Al Hujurat:6) tidak menggunakan term mushibah, tapi dalam bentuk
mudhari “tushibhum saiat” dan “tushibu“. Dari 13 ayat yang memuat term mushibah
mengandung beberapa arti yaitu kesulitan atau bencana, kekalahan dalam perang,
sesuatu yang buruk/bencana akibat ulah tangan diri sendiri, kematian, adzab
karena dosa, mencelakakan/membahayakan. Semuanya menunjukkan pengertian yang
negatif dan membuat manusia susah (atau tidak menyenangkan).
Pendapat ini sejalan dengan sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Ikrimah
berikut:
“Pada suatu malam lentera nabi ﷺ mendadak padam. Lalu Nabi
membaca: innalillahi wa inna ilaihi raji‟un
(sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami
kembali). Para sahabat bertanya: “Apakah ini termasuk musibah wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ya, apa saja
yang menyakiti orang mukmin disebut musibah.” (HR. Abu
Daud).
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa, musibah adalah krisis
yang dapat menghambat dan menghilangkan kesenangan dan kebahagiaan manusia
(human’s pleasure and happiness).
Bencana alam, wabah
penyakit, kecelakaan, kematian dan termasuk mendapatkan amanah
kedudukan adalah diantara contoh musibah.
Jabatan juga musibah, karena
menjadi pejabat pada hakekatnya tidak nyaman dan kadang menjadi beban,
meskipun kesenangannya juga banyak.
Dari beragam bentuk musibah tersebut, secara umum ada dua pola, berdasarkan perspektif Al-Quran yaitu;
musibah sebagai manifestasi dari hukum alam dan musibah sebagai akibat dari
ulah tangan manusia. Meskipun secara
hakikat semua merupakan ketetapan Tuhan dan telah tertulis di lauhul
mahfudz (QS. 57:22 dan 64:11).
Adapun tujuan diberikan musibah beragam, kadang sebagai batu ujian untuk melatih
kesabaran manusia. Untuk menguji proses
kenaikan taraf ketaqwaan sang hamba.
Kemudian juga sebagai bentuk
“hukuman” dan “peringatan” atas kelalaian manusia maupun akibat kerusakan
oleh “tangan-tangan” (perbuatan) manusia
itu sendiri.
Musibah Membentuk Karakter Dan Jiwa Manusia
Musibah adalah ibarat “kampus” tempat manusia mendapatkan
pendidikan menuju jenjang yang lebih tinggi dalam mengarungi kehidupan di dunia
ini. Musibah adalah “martil” sebagai alat penempa jasmani manusia agar kokoh dalam
menghadapi terpaan badai “fitnah” duniawi. Dan musibah adalah “tungku” pembakar
jiwa agar manusia selalu siap, tegar dan teguh dalam mengarungi kehidupan dunia
yang penuh tipu muslihat.
Diantara contoh ayat yang menggunakan kata mushibah adalah
QS. Al-Baqarah: 156.
ٱلَّذِينَ
إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
“(yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi” (sesungguhnya
kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
Dalam ayat tersebut,
musibah menerangkan karakteristik orang yang sabar (shobirin) yaitu
orang ketika ditimpa ujian atau cobaan senantiasa menyerahkannya kepada
Allah. Kata kunci “mengembalikan”
segala urusan kepada Allah. Karena
sesungguhnya musibah yang ditimpakan kepada manusia, terjadi atas perkenan Allah SWT. Sebagaimana dijabarkan dalam Qs. At-Taghabun:11.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ
إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ
قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang
menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam konteks mengembalikan segala urusan kembali kepada
Allah. Maka disinilah “pencarian” akan
hikmah dan ibrah kita mulai. Sebagai “Kampus”, musibah selalu mengandung
rahasia (hikmah wa ibrah). Hikmah dan
pengajaran kepada jiwa manusia. Apa
yang menjadi esensi dari musibah,
berikut penjelasannya.
Pertama,
musibah dimaksudkan agar manusia memahami arti kebahagian dan
kegembiraan yang sejati. Kepedihan dan
kepahitan hidup harus ada pembandingnya,
agar kita dapat menerangkan rasa pahit dan getir. Sehingga dengan pengalaman tersebut, akan menumbuhkan sikap simpati dan empati
manusia atas persoalan yang sama dihadapi orang lain.
Kepekaan hati atau imajinasi atas penderitaan orang
lain, dalam menyerap penderitaan orang
lain, membuat kita dapat menghayati arti
penderitaan. Sehingga membuat manusia
tidak membuat sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan bagi orang lain.
Kedua, melalui
musibah Allah Subhanahu wata’ala menumbuhkan rasa cinta atas kemanusiaan. Karena dengan musibah manusia bisa
mentransendensikan kepentingan parochialnya, termasuk benci dan dendam.
Manusia akan lebih mudah “belajar” tentang kehidupan dengan
melalui krisis, ketimbang sesuatu yang
nikmat. Kenikmatan sering kali membuat
manusia lupa dan lalai. Tapi dalam
krisis, manusia lebih mudah menimba
pengajaran, dan lebih berkembang
sisi-sisi humanisnya.
Makna hidup dicapai setelah manusia mendapatkan ruang
mengekspresikan kebebasan berkehendak (freedom of will) dan kehendak untuk
hidup bermakna (will of meaning). Dengan
kata lain, krisis atau penderitaan
membuat manusia memahami dan menghendaki makna kehidupannya.
Ketiga,
musibah dan penderitaan dalam kacamata spiritual (tasawuf) pada dasarnya
adalah jalan mencapai cahaya. Dalam bahasa Jalaludin Rumi, “luka-luka adalah jalan bagi cahaya memasuki
diri Anda”. Untuk mencapai pencerahan
spiritual manusia mesti melewat berbagi lembah penderitaan, seperti tujuh lembah penderitaan rombongan
burung (dalam Musyawarah Burung,
Faridudin Attar) untuk menjumpai Simurg.
Artinya fase krisis atau penderitaan mutlak mesti dilalui
para Salik yang ingin mencapai maqam yang lebih tinggi dalam pencaharian
spiritualnya. Dengan demikian, penderitaan bukan lagi sesuatu yang buruk dan
harus dihindari, tetapi sebaliknya harus dilalui dan dinikmati. Karena menurut Rumi, penderitaan adalah kasih sayang Tuhan yang
sedang menyamar.
Keempat,
diantara musibah ada yang terjadi sebagai kausalitas. Artinya musibah muncul sebagai akibat dari
ulah tangan manusia, yang rakus dan sombong.
Mengeksploitasi sumber daya alam semau-maunya (dengan dalih
pembagunanisme) tanpa memperdulikan
keseimbangan ekosistem. Akibatnya
terjadilah tanah lonsor, banjir bandang hingga pencemaran air, tanah dan udara. Timbul berbagai penyakit dan problem
sosial, hingga nyawa melayang.
Sumber tulisan:
-. Ambil berkah dari
musibah – Penulis : Affa Fajrul Fallaq - Penerbit : gramedia.com
-. Kampus Kehidupan
(Selaras dengan Alam) – penulis : Prita A. Karyadi – Penerbit : Deepublish
Tidak ada komentar:
Posting Komentar