Lembaga Kemasyarakatan Desa


Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 04 Juli 2025

MUSIBAH ADALAH KAMPUS KEHIDUPAN

| Jumat, 04 Juli 2025

 

musibah, kampus kehidupan, berkah, cela, anugerah, sabar,
sumber gambar : Dok. RW. 02 Gg. Barjo


Pada bulan Oktober 2025 di wilayah Rukun Warga 02 Gang Barjo Kelurahan Kebon Kalapa Kecamatan Bogor Tengah terjadi bencana tanah longsor yang merengut 5 jiwa warga RW. 02. Kini di tahun 2025 tepatnya di akhir bulan Maret terjadi musibah amblasnya Jalan Lingkungan berupa akses tangga menuju jalan utama Jl. Veteran dan juga pondasi SMK Yayasan Andhiga yang mengalami penurunan tanah. Pada musibah di bulan Maret tersebut tidak menimbulkan korban jiwa hanya saja aktivitas warga menjadi sedikit terganggu karena akses utama menuju jalan raya terputus.

 

Allah mensinyalir dalam Al Quran bahwa “pasti” setiap kaum akan diberikan berbagai musibah.  Musibah yang menimbulkan rasa takut akan  keterbatasan Resource seperti kebutuhan pokok (sandang,  pangan dan papan), terputusnya akses seperti informasi  dan transportasi, hingga terancamnya keselamatan harta dan nyawa.

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

 

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS: Al Baqarah: 155).

 

Kata “pasti” pada ayat tersebut,  berdasarkan petunjuk lam taukid yang bermakna “benar-benar akan diberikan”.  Isyaratnya bahwa hendaknya kita menyiapkan diri kita, bahwa hidup tidak selalu landai,  kadang menurun, kadang mendaki.  Seperti gelombang,  suka dan duka datang silih berganti.  Kita mesti menyiapkan jiwa dalam segala medan kehidupan.  Karena mustahil juga  kita menghindar darinya.

 

Kiranya kita juga perlu berpandangan yang sama,  ketimbang menghindar,  lebih baik kita berdamai dengan krisis (musibah).  Dengan cara menimba hikmah dari segala musibah yang menimpa.  Jika perlu, musibah menjadi “Kampus” yang mengasuh jiwa dengan hikmah dan ibrah.  Karena sesungguhnya, Allah SWT tidak menurunkan musibah kepada manusia,  kecuali Ia hendak mengisyaratkan sesuatu kepada manusia.   Bisa karena Ia hendak menunjukkan tentang kebijaksanaan (wisdom) yang tinggi,  bisa hendak menaikkan derajat ketakwaan sang hamba, atau bisa pula Ia hendak mempertontonkan  kedigdayaan-Nya.

 

Hakekat  Musibah Bagi Manusia Di Dalam Kehidupan

Musibah secara bahasa, adalah serapan dari bahasa Arab mushibah.  Secara etimologi,  kata mushibah adalah masdar dari akar kata ashaba – yushibu – mushibah yang bermakna menimpa atau mengenai.  Secara terminologi bermakna ujian atau cobaan. Dalam Al Quran kata mushibah diulang berkali-kali. Berdasarkan kitab al-Mu’jam al-Mufradat fi Alfadz al-Qur’an al-Karim, dikatakan paling tidak ada 77 kali kata musibah disebutkan dalam al Quran. Sementara dalam Indek Al Quran (Azharuddin Sahil, 2007) dikatakan terulang 13 kali.

 

Perbedaan ini terjadi berdasarkan pengkategorian kata, bisa dalam bentuk fi’il madhi, mudhari atau masdar. Sedangkan pada indeks Al Quran yang ditulis Azharuddin, 13 kali menggunakan kata musibah dan ada 2 ayat (Qs. Ar-Rum:36 dan Al Hujurat:6) tidak menggunakan term mushibah, tapi dalam bentuk mudhari “tushibhum saiat” dan “tushibu“. Dari 13 ayat yang memuat term mushibah mengandung beberapa arti yaitu kesulitan atau bencana, kekalahan dalam perang, sesuatu yang buruk/bencana akibat ulah tangan diri sendiri, kematian, adzab karena dosa, mencelakakan/membahayakan. Semuanya menunjukkan pengertian yang negatif dan membuat manusia susah (atau tidak menyenangkan).

 

Pendapat ini sejalan dengan sebuah hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ikrimah berikut:

 

Pada suatu malam lentera nabi mendadak padam. Lalu Nabi membaca: innalillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali).  Para sahabat bertanya: “Apakah ini termasuk musibah wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ya, apa saja yang menyakiti orang mukmin disebut musibah.” (HR. Abu Daud).

 

Jadi,  dapat disimpulkan bahwa,  musibah adalah krisis yang dapat menghambat dan menghilangkan kesenangan dan kebahagiaan manusia (human’s pleasure and happiness).  Bencana alam,  wabah penyakit,  kecelakaan,  kematian dan termasuk mendapatkan amanah kedudukan adalah diantara contoh musibah.  Jabatan juga musibah,  karena menjadi pejabat pada hakekatnya tidak nyaman dan kadang menjadi  beban,  meskipun kesenangannya juga banyak.

 

Dari beragam bentuk musibah tersebut,  secara umum ada dua pola,  berdasarkan perspektif Al-Quran yaitu; musibah sebagai manifestasi dari hukum alam dan musibah sebagai akibat dari ulah tangan manusia.  Meskipun secara hakikat semua merupakan ketetapan Tuhan dan telah tertulis di lauhul mahfudz  (QS. 57:22 dan 64:11).

 

Adapun tujuan diberikan musibah beragam,  kadang sebagai batu ujian untuk melatih kesabaran manusia.  Untuk menguji proses kenaikan taraf ketaqwaan sang hamba.  Kemudian juga  sebagai bentuk “hukuman” dan “peringatan” atas kelalaian manusia maupun akibat kerusakan oleh  “tangan-tangan” (perbuatan) manusia itu sendiri.

 

Musibah Membentuk Karakter Dan Jiwa Manusia

Musibah adalah ibarat “kampus” tempat manusia mendapatkan pendidikan menuju jenjang yang lebih tinggi dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Musibah adalah “martil” sebagai alat penempa jasmani manusia agar kokoh dalam menghadapi terpaan badai “fitnah” duniawi. Dan musibah adalah “tungku” pembakar jiwa agar manusia selalu siap, tegar dan teguh dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh tipu muslihat.

 

Diantara contoh ayat yang menggunakan kata mushibah adalah QS.  Al-Baqarah: 156.

 

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

 

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”

 

Dalam ayat tersebut,  musibah menerangkan karakteristik orang yang sabar (shobirin) yaitu orang ketika ditimpa ujian atau cobaan senantiasa menyerahkannya kepada Allah.    Kata kunci “mengembalikan” segala urusan kepada Allah.   Karena sesungguhnya musibah yang ditimpakan kepada manusia,  terjadi atas perkenan Allah SWT.  Sebagaimana dijabarkan dalam Qs.  At-Taghabun:11.

 

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

 

Dalam konteks mengembalikan segala urusan kembali kepada Allah.  Maka disinilah “pencarian” akan hikmah dan ibrah kita mulai. Sebagai “Kampus”, musibah selalu mengandung rahasia (hikmah wa ibrah).  Hikmah dan pengajaran kepada jiwa manusia.   Apa yang menjadi esensi dari musibah,  berikut penjelasannya.

 

Pertama,  musibah dimaksudkan agar manusia memahami arti kebahagian dan kegembiraan yang sejati.  Kepedihan dan kepahitan hidup harus ada pembandingnya,  agar kita dapat menerangkan rasa pahit dan getir.   Sehingga dengan pengalaman tersebut,  akan menumbuhkan sikap simpati dan empati manusia atas persoalan yang sama dihadapi orang lain.

 

Kepekaan hati atau imajinasi atas penderitaan orang lain,  dalam menyerap penderitaan orang lain,  membuat kita dapat menghayati arti penderitaan.  Sehingga membuat manusia tidak membuat sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan bagi orang lain.

 

Kedua,  melalui musibah Allah Subhanahu wata’ala menumbuhkan rasa cinta atas kemanusiaan.  Karena dengan musibah manusia bisa mentransendensikan kepentingan parochialnya, termasuk benci dan dendam.

 

Manusia akan lebih mudah “belajar” tentang kehidupan dengan melalui krisis,  ketimbang sesuatu yang nikmat.  Kenikmatan sering kali membuat manusia lupa dan lalai.   Tapi dalam krisis,  manusia lebih mudah menimba pengajaran,  dan lebih berkembang sisi-sisi humanisnya.

 

Makna hidup dicapai setelah manusia mendapatkan ruang mengekspresikan kebebasan berkehendak (freedom of will) dan kehendak untuk hidup bermakna (will of meaning).  Dengan kata lain,  krisis atau penderitaan membuat manusia memahami dan menghendaki makna kehidupannya.

 

Ketiga,  musibah dan penderitaan dalam kacamata spiritual (tasawuf) pada dasarnya adalah  jalan mencapai cahaya.  Dalam bahasa Jalaludin Rumi,  “luka-luka adalah jalan bagi cahaya memasuki diri Anda”.  Untuk mencapai pencerahan spiritual manusia mesti melewat berbagi lembah penderitaan,  seperti tujuh lembah penderitaan rombongan burung (dalam Musyawarah Burung,  Faridudin Attar) untuk menjumpai Simurg.

 

Artinya fase krisis atau penderitaan mutlak mesti dilalui para Salik yang ingin mencapai maqam yang lebih tinggi dalam pencaharian spiritualnya.  Dengan demikian,  penderitaan bukan lagi sesuatu yang buruk dan harus dihindari, tetapi sebaliknya harus dilalui dan dinikmati.   Karena menurut Rumi,  penderitaan adalah kasih sayang Tuhan yang sedang menyamar.

 

Keempat,  diantara musibah ada yang terjadi sebagai kausalitas.  Artinya musibah muncul sebagai akibat dari ulah tangan manusia, yang rakus dan sombong.  Mengeksploitasi sumber daya alam semau-maunya (dengan dalih pembagunanisme)  tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem.   Akibatnya terjadilah tanah lonsor, banjir bandang hingga pencemaran air,  tanah dan udara.  Timbul berbagai penyakit dan problem sosial,  hingga nyawa melayang.

 

 

 

Sumber tulisan:

-.  Ambil berkah dari musibah – Penulis : Affa Fajrul Fallaq - Penerbit : gramedia.com

-.  Kampus Kehidupan (Selaras dengan Alam) – penulis : Prita A. Karyadi – Penerbit :  Deepublish

-. Ust. Adi Hidayat


Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar