Lembaga Kemasyarakatan Desa


Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 07 Juli 2025

MENTALITAS KORUP PEMIMPIN DAN PEJABAT PUBLIK INDONESIA

| Senin, 07 Juli 2025

 

korupsi, rampok, maling, pejabat, pemimpin, rampok,
Sumber Gambar : pixabay


Berbicara mengenai korupsi di negeri ini bagaikan meneliksik penyakit kanker yang begitu akut. Korupsi bagaikan “budaya” di negeri ini dan yang melakukannya bukanlah orang-orang biasa tetapi orang-orang yang memiliki pendidikan yang tinggi, strata sosial yang baik yang seharusnya memiliki akhlak serta martabat yang baik dan berbudi luhur. Namun, pada kenyataannya ‘mereka’ yang melakukan praktek ini sepertinya telah buta ‘hati, tuli dan jiwa-nya ‘.

Masalah korupsi di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan secara terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonial, zaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk sementara harus diterima saja bahwa korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia.

Kerangka Historis Korupsi di Indonesia
Meskipun terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah sebelumnya di Indonesia, kita ambil sebagai titik awal saat rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998), yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mengesankan yang cepat dan berkelanjutan (dengan Produk Nasional Bruto rata-rata 6.7 persen per tahun antara tahun 1965-1996), tapi juga terkenal karena sifat korupnya. Suharto memanfaatkan sistem patronase untuk mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit nasional dan kritikus terkemuka. Dalam hal pertukaran peluang bisnis atau posisi politik Suharto bisa mengandalkan dukungan mereka. Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk aparat intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat besar (yang berasal dari produksi minyak bumi yang booming pada 1970-an) yang dia gunakan, dengan kekuatan itu Ia meraih kedudukan puncak dalam sistem politik dan ekonomi nasional, menyerupai kekuatan patrimonial penguasa tradisional di masa pra-kolonial dulu.

Dalam membuat kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan saran dan dukungan dari sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: para teknokrat yang dilatih di Amerika Serikat (USA-trained technocrats), nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar pemerintah dalam perekonomian) dan kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan beberapa konglomerat etnis Cina kaya). Pada saat itu, semua kategori ini dituduh korup namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang merupakan penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara - maka mereka tidak disukai oleh pengusaha nasional dan masyarakat - dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang beroperasi dengan sedikit pengawasan atau pemantauan.

Salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde Baru Suharto adalah korupsi tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi. Investor dan pengusaha bisa memprediksi jumlah ‘upeti’ yang harus mereka sisihkan untuk biaya-biaya 'tambahan' dan mereka mengetahui mana orang-orang yang akan perlu mereka suap.Tapi juga ada taktik untuk memasukkan kroni Suharto dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh birokrasi yang amat ruwet. Pola yang sama ini ada di tingkat lokal di mana gubernur dan komandan militer setempat menikmati hak istimewa yang sama seperti di pusat namun selalu sadar bisa kena hukuman dari pusat jika mereka mendorongnya (sogokan) terlalu jauh.

Desentralisasi Korupsi Indonesia
Dengan era baru Reformasi, yang dimulai setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998, situasi ini berubah. Situasi ini berubah dengan drastis setelah lengsernya Suharto pada 1998 program desentralisasi daerah yang ambisius dimulai pada tahun 2001 yang meramalkan pemindahan otonomi administrasi dari Jakarta ke kabupaten (bukan ke provinsi). Program baru ini sejalan dengan tuntutan masyarakat tetapi memiliki efek samping negatif pada pola distribusi korupsi. Penyuapan tidak lagi 'dikoordinasikan' seperti yang telah terjadi di masa lalu tapi menjadi terpecah-pecah dan tidak jelas. Desentralisasi berarti bahwa pemerintah daerah mulai membuat peraturan daerah baru (yang sering tidak dirancang dengan ketat) yang memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai tingkat pemerintah dan lembaga lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan keuangan.

Dengan bergulirnya otonomi daerah ini ternyata banyak menyimpan segi negatifnya dimana korupsi semakin merajalela terutama di bidang pengadaan dan jasa. Walaupun telah dilakukan dengan sistem LPSE tetap saja praktik korup masih berjalan dan menjadi titik rawan dalam hal korupsi adalah di bidang pengadaan dan jasa ini. ‘Raja-raja kecil’ sebagai pengusaha baru berkolaborasi dengan jajaran dibawahnya untuk mengumpulkan ‘tambahan keuangan’ yang biasanya mereka mengatakan dengan sebuah kalimat halus ‘kewajiban’. Padahal hakekatnya otonomi yang di maksudkan adalah untuk memberikan ke-adilan dan pemeretaan pendapatan antara pusat dan daerah namun, kecondongannya banyak disimpangkan oleh penguasa-penguasa kecil yang ‘rakus dan tamak’.

Menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi (karena merugikan investasi dan umumnya mendorong adanya ketidakadilan terus-menerus dalam masyarakat), sebuah badan pemerintah baru didirikan pada tahun 2003. Lembaga pemerintah ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK), ditugaskan untuk membebaskan Indonesia dari korupsi dengan menyelidiki dan mengusut kasus-kasus korupsi serta memantau tata kelola negara (yang menerima kekuasaan yang luas).

Namun, opini-opini mengenai prestasi KPK masih diperdebatkan. Para pengkritik menekankan bahwa KPK lebih fokus untuk menangani tokoh profil yang lebih rendah (tokoh kecil dan tidak penting), meskipun selama beberapa tahun terakhir, terutama menjelang akhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada beberapa kasus tokoh profil tinggi seperti menteri, pejabat kepolisian berpangkat tinggi, hakim dan bendahara partai dari Partai Demokrat-nya Yudhoyono yang telah diciduk. Sebagian keberhasilan dan keberanian KPK ini telah memicu perlawanan - sebagian besar dari orang-orang yang pernah diusut atau diinterogasi - mengklaim bahwa KPK sendiri adalah lembaga yang korup. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah skandal telah muncul di mana anggota KPK - konon - dijebak oleh petugas polisi senior dan ditangkap untuk melemahkan kewenangan KPK.

Korupsi selama Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Selama pemilu presiden 2004 dan 2014, Presiden Yudhoyono memprofilkan dirinya sebagai orang yang mengabdi dan bertekad mengatasi korupsi di Indonesia, khususnya mengenai korupsi di kalangan pemerintah. Hal ini membuatnya sangat populer sekitar waktu pemilihan umum tahun 2009. Namun, merajalelanya korupsi politik dan beberapa kasus gratifikasi pejabat tinggi dalam pemerintahannya telah menyebabkan peringkat-nya merosot tajam setelah tahun 2010, maka sedikit orang yang sedih waktu masa jabatan Yudhoyono selesai pada akhir tahun 2014.

Pukulan lain terjadi pada wibawa Presiden Yudhoyono adalah perginya Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2010. Sri Mulyani, yang memiliki reputasi integritas tinggi (meskipun sedikit dinodai oleh skandal Bank Century), ditugasi untuk mereformasi kantor pajak dan bea cukai yang korup di Indonesia. Dia cukup sukses dan bisa mengandalkan dukungan dari banyak orang Indonesia. Tetapi kinerjanya juga menciptakan musuh. Pada Mei 2010 ia meninggalkan politik Indonesia untuk menjadi Direktur Pelaksana di Grup Bank Dunia. Meskipun demikian, spekulasi yang menyebar luas, adalah bahwa pengunduran dirinya disebabkan tekanan politik dari pengusaha yang memiliki koneksi politik yang tinggi.
Selain itu, beberapa kasus korupsi - yang melibatkan anggota partai Yudhoyono dan beberapa menteri - terjadi menjelang akhirnya pemerintahannya dan ini sangat merusak reputasi Partai Demokrat (PD) maupun citra Yudhoyono sendiri (yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai pemimpin yang lemah karena munculnya skandal korupsi dalam partainya dan kabinetnya). Dalam dua tahun terakhir kepresidenannya Yudhoyono, Menteri Pemuda & Olahraga (Andi Mallarangeng) dan Menteri Agama (Suryadharma Ali) mengundurkan diri setelah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Sementara itu, pada tahun 2013 Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dituduh menerima suapan senilai USD $260.000. Ini berarti bahwa - setelah awal yang menjanjikan - munculnya banyak kasus korupsi profil tinggi menjelang akhir masa jabatannya yang kedua dan beberapa kasus korupsi yang belum tertuntaskan,  membuat Yudhoyono tidak akan dikenang sebagai seorang yang berhasil dalam memberantas korupsi.

Korupsi selama Pemerintahan Joko Widodo
Sejak 2014 Joko Widodo memimpin bangsa Indonesia. Sama dengan presiden sebelumnya dan para calon presiden sebelumnya Widodo menyerukan pertempuran melawan korupsi di negara ini, mendesak kebutuhan untuk sebuah 'revolusi mental' yang mencakup perhentian untuk keserakahan dan korupsi di masyarakat. Ini adalah ambisi yang susah tapi Widodo telah melakukan beberapa upaya penting, misalnya dengan memindahkan banyak layanan pemerintah menjadi layanan online (menyiratkan birokrat 'lapar akan disuap' memiliki kesempatan lebih sedikit untuk mendapatkan uang tambahan).

Sejauh ini, Presiden Widodo dapat menikmati citra sebagai orang bersih dari korupsi (meskipun ia dikritik karena mendukung calon kepala polisi Budi Gunawan yang pernah menjadi tersangka dalam kasus korupsi). Juga dalam kabinetnya belum terjadi skandal terkait korupsi. Namun, Widodo harus tetap berhati-hati untuk tidak mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya.


Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto
Diawal masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah di kuak beberapa kasus korupsi yang membuat hati masyarakat Indonesia semakin jengkel dan geram melihat perilaku para pejabat dan pemimpin di Indonesia yang sangat senang “merampok” uang Negara/Rakyat. 

Berikut adalah daftar kasus korupsi terbesar yang terungkap di awal tahun ini: 

1. Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina  
Dugaan korupsi ini terjadi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dari 2018 hingga 2023. 

Perkara ini diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp 193,7 triliun dalam satu tahun, sehingga total kerugian selama lima tahun bisa mencapai angka fantastis.  

Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka, termasuk enam pejabat Pertamina dan tiga pelaku dari sektor swasta. 

Beberapa di antaranya adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, serta Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin.   

Untuk mengungkap kasus ini lebih lanjut, Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan dan pemeriksaan saksi, termasuk seorang influencer otomotif, Fitra Eri, yang diduga mengetahui aliran dana kasus ini.  

2. Korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)  
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan di LPEI. Mereka adalah Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi, Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal, Jimmy Masrin, serta beberapa petinggi perusahaan lain yang terlibat dalam transaksi mencurigakan.  

Modus yang digunakan adalah benturan kepentingan antara pejabat LPEI dan pihak debitur, di mana kredit diberikan tanpa melalui analisis yang layak. Bahkan, dokumen purchase order dan invoice diduga dipalsukan untuk mencairkan dana yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi riil. Akibatnya, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 11,7 triliun.  

3. Korupsi Dana Iklan Bank BJB  
Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan oleh KPK, tetapi sudah ada lima tersangka yang ditetapkan, terdiri dari pejabat negara dan pihak swasta. Modusnya berkaitan dengan pengadaan iklan di Bank BJB, yang diduga menyebabkan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.  

KPK juga menggeledah sejumlah lokasi di Bandung, termasuk rumah mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Meski demikian, hingga saat ini KPK belum mengungkap secara rinci siapa saja pihak yang terlibat.  

4. Kredit Fiktif Bank Jatim Cabang Jakarta  
Kejaksaan Tinggi Jakarta menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi kredit fiktif di Bank Jatim Cabang Jakarta. Mereka adalah Kepala Cabang Bank Jatim Jakarta, Benny, serta dua pelaku dari sektor swasta, Bun Sentoso dan Agus Dianto Mulia.  

Dalam kasus ini, kredit senilai Rp 569,4 miliar dicairkan untuk proyek-proyek yang sebenarnya tidak pernah ada. Perusahaan-perusahaan yang dijadikan debitur hanyalah kedok untuk mendapatkan dana segar secara ilegal.  

Perjuangan Indonesia Melawan Korupsi
Pertama-tama perlu disebutkan bahwa ada dorongan besar dari rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia dan media yang bebas memberikan banyak ruang untuk menyampaikan suara mereka pada skala nasional, sementara para lembaga media juga asyik berfokus pada skandal-skandal korupsi (meskipun beberapa institusi media - yang dimiliki oleh politisi atau pengusaha - memiliki agendanya sendiri untuk melakukan hal ini).

Dorongan rakyat untuk memberantas korupsi berarti bahwa "bersikap anti-korupsi" sebenarnya bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang penting bagi politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi benar-benar bisa merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek samping negatif (bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu pejabat pemerintah saat ini menjadi sangat berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut menjadi korban dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai keberhasilan pengaruh KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga akan menyebabkan belanja pemerintah yang lambat.

Terkait dengan korupsi, masih ada jalan panjang reformasi ke depan untuk Indonesia. Baik pada tingkat pusat dan daerah, bisnis dan politik masih cenderung "tebang pilih", maka membentuk semacam konflik kepentingan terjadi. Misalnya, pembalakan liar tersebar luas di Sumatera dan Kalimantan karena banyak ijin penebangan liar dikeluarkan oleh badan-badan publik (sehingga mengancam keberadaan hutan di Indonesia). Demikian pula, di sektor pengadaan di Indonesia kontrak yang menguntungkan sering diberikan kepada perusahaan yang terkait dengan pejabat negara.

Korupsi sangat menghambat negara ini dalam merealisasikan potensi ekonomi dan menyebabkan ketidakadilan yang signifikan di masyarakat Indonesia karena sebagian kecil orang mendapatkan manfaat yang amat besar dari lembaga dan keadaan korup. Tapi pujian atau penghargaan harus diberikan kepada media (bebas) Indonesia dan KPK karena keduanya memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi

Melihat apa yang terjadi saat ini dimana kasus korupsi terbesar nilainya yang sekitar Rp 193,7 triliun rupiah sungguh angka yang luar biasa besar. Merinding mendengar berita tersebut, bagaimana tidak yang melakukannya juga orang-orang ‘pintar’ dan terhormat yang hampir semuanya berwajah bagaikan ‘Malaikat’ tetapi berhati ‘Iblis’. Moral mereka sudah mati, nurani mereka telah hilang dan rasa malu mereka telah ter-amputasi. Belum rampung persoalan korupsi yang melibatkan ‘orang-orang terhormat’ di perkarakan dan selesai di adili sudah ada lagi kasus yang baru.

Fakta ini juga menandakan demikian akut dan kronisnya penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, pejabat-pejabat publik yang seharusnya memberikan keteladanan justru menjadi bagian tumbuh suburnya budaya korupsi. Republik ini telah kehilangan keteladanan, keadaban berbangsa kian keropos, menjadi penting untuk kembali membaca sejarah para Bapak Pendiri negeri ini yang bersikap selayaknya negarawan, penuh integritas dan sepenuhnya mengabdikan diri bagi kemajuan bangsa serta kemakmuran rakyat.

Apa yang harus dilakukan agar korupsi benar-benar hilang dari bumi Indonesia? Atau setidaknya para ‘koruptor’ yang baru ‘niat’ mau korup jadi jera dan membatalkan ‘niat busuk-nya’. Dengan hukuman mati? Gantung atau tembak? Atau ditambah hukuman sosial, seperti yang terjadi negara China. Tapi hukuman tidak serta merta membuat para pelaku jera, yang terjadi di kita malah semakin ‘berjamaah’ korupsinya. Modusnya juga sudah semakin ‘canggih’, para ‘tikus’ itu mencari jalan untuk dapat berbuat korupsi.

Metode melalui ‘pengaturan’ proyek ini yang kerap dilakukan, kok bisa yah? Padahal proyek dilakukan dengan elektronik melalui LPSE yang secara teori ini transparan karena secara terbuka dapat di akses umum dan dapat dipantau perjalanannya. Tapi jangan salah metode lelang secara elektronik ini juga dapat direkayasa dan pemenang tender dapat ditentukan. Tentunya dengan cara berjama’ah mereka melakukan hal tersebut. Sungguh ironi memang ‘uang rakyat’ dirampok oleh para pemimpinnya sendiri, tidakkah mereka berpikir apa yang mereka lakukan dapat membunuh rakyat secara perlahan.

Sumber tulisan: Kompas.com, Tempo.com, Bisnis Indonesia grup, CNBC 


Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar