Penderitaan adalah lambang kekuatan jiwa, tak akan aku
tukarkan penderitaan ini dengan sukacita manusia.
Jiwaku menemukan ketenangan manakala hatiku bersukacita menerima
himpitan kesusahan dan kesesakan kehidupan. Hatiku
terpenuhi kegembiraan, manakala aku bersukaria
dalam derita-Nya. Hanya satu tujuan hidupku, membuat DIA
selalu tersenyum di sepanjang kehidupan…
…..Andi Suryadi….
Pagi yang cerah mengiringi hari ini, sinar mentari dengan
hangat dan penuh kelembutan meresap dalam setubuh
seorang kakek tua, ia begitu menikmati
belaian hangat sang mentari. Dalam keterbatasan fisiknya, tak terlihat wajah
kelemahan terpancar dari wajahnya. Padahal ia kini hanya dapat terduduk lemah
di atas kursi rodanya, kakinya sudah tak dapat lagi menopang tubuhnya.
Tangannya tak lagi sekuat dulu, bahkan hanya bagian
yang kiri saja yang masih dapat ia gerakkan. Pandangannya telah menjadi kabur
di akibatkan penyakit katarak yang kini hinggap. Penyakit sroke yang ia derita
telah menyebabkan sebagian tubuhnya tidak dapat digerakkan secara normal. Di
tambah dengan penyakit diabetes yang telah lama hinggap di dalam tubuhnya, yang
tak kunjung ada kesembuhan.
Sepeninggal istrinya yang begitu menyayangi dan setia
menemaninya, kini ia tinggal di sebuah panti jompo. Walaupun ia memiliki tiga
orang anak yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan,
namun tak seorangpun yang mau merawatnya. Semuanya mundur secara teratur
manakala di tunjuk untuk merawatnya, mereka beralasan hanya merepotkan mengurus
seorang tua renta yang sakit-sakitan. Oleh sebab itu mereka kemudian mengirim
laki-laki tua itu di sebuah panti jompo yang bernama “Panti Kasih Tiada Batas”
yang di asuh oleh sepasang keluarga muda yang telah mengabdikan diri sejak
sepuluh tahun yang lalu. Panti ini dahulunya adalah rumah tempat tinggal mereka
yang asri dan luas. Panti ini terletak di jalan kecil yang bernama Jalan Gotong
Royong dengan akses jalan besarnya yaitu jalan Sudirman.
“Selamat pagi pak Andi” sebuah sapaan lembut menyapa kakek
tua yang ternyata bernama pak Andi,
“Se..se.lamat pagi, nak Aryo dan
nak pipit” Jawabnya dengan nada yang
terbata-bata,
“Bagaimana kabarnya pak? Tadi sudah sarapan?” Tanya pipit
penuh kelmbutan, Pak Andi hanya menganggukkan kepalanya,
“Sudah di minum obatnya, pak?” lanjutnya “Jika sudah,
sekarang bapak istirahat yah, sebab matahari sudah mulai terik”
“Baik nak Pipit, terimakasih” Pak Andi pun menjawab, dan
Pipit kemudian membantunya mendorongkan kursi rodanya menuju ruang paviliun.
Disana ada pula beberapa orang kakek dan nenek tua yang
sedang asyik menonton acara televisi, di antaranya pak Muharam, pak Liem, pak
Zakaria dan ibu Kulsum serta ibu Yanti. Tampak
keceriaan hadir disana, manakala mereka
menonton sebuah film komedi yang di bintangi oleh almarhum Benyamin. Pak
Andi pun larut dalam keceriaan dan hal itu telah mengobati kerinduan di hatinya
yang berharap dapat bersama dengan anak dan cucunya, dalam sisa masa hidupnya.
Sore itu setelah melaksanakan sembahyang, pak
Andi duduk di pinggir jendela. Tampak tatapan matanya kosong,
ia menerawang alam sekeliling seakan ia
mencari sesuatu yang teramat berarti dalam hidupnya. Sesekali terlihat linangan
airmata membasahi pipinya dan tarikan nafasnya
yang panjang pun terdengar begitu berat…Aku rindu
engkau Fiona istriku, aku tahu engkau kini
bahagia di surga-Nya. Sungguh Fiona, engkau
adalah yang terbaik yang telah Allah anugerahkan
dalam hidupku. Kesetiaan dan kasihmu begitu
terasa olehku, aku teramat bersyukur telah Allah titipkan
engkau dalam kehidupanku. Lihatlah aku sekarang kasihku?, di
senja usiaku, kini aku dalam kesunyian, dimanakah mereka buah cinta kita? Hanya
engkau yang setia dan mengasihiku apa adanya bukan ada apanya. Sayang,
bawalah aku serta di taman surga yang
telah Allah berikan kepadamu…ti..tidak, aku tidak boleh menangisi
apa yang telah dan sedang terjadi padaku, engkau kini telah bahagia dan tak
selayaknya aku menghancurkan kebahagianmu. Aku tahu engkau pun menantikan
kedatanganku…pasti sayang, aku akan datang kepadamu dan kita akan bersama
kembali…Fiona sayang, bersabarlah suatu saat nanti aku pasti akan datang
menemui engkau dan bahkan engkau yang akan menjemput dan mengahantarku
di tanah perhentian…namun, Allah masih memberikan padaku
untuk sebuah tugas terakhir sebelum masa waktuku berakhir…dan aku masih
belum mengerti dan memahami akan tugas itu..namun aku akan tetap
melakukannya tanpa harus aku memahami…dalam tarikan nafas yang ku hirup,
aku masih dapat merasakan cinta dan kasihmu…terimakasih sayang atas semua kasih
yang telah engkau curahkan kepadaku, anak-anak dan seluruh keluarga
kita…selamat sore Fiona sayang….dan linangan airmatanya semakin deras membasahi
pipinya…ia pun terhanyut dalam elegi rindunya… “Malam pak Andi, bagaimana sudah
makan malam?” tanya Aryo,
“Malam nak Aryo, sudah tadi” Jawabnya sambil menganggukkan
kepala,
“Sekarang di minum obatnya yah pak” lanjutnya dengan penuh
perhatian
Setelah meminum obatnya, pak Andi menarik tangan Aryo, dan
berkata,
“Nak Aryo, terimakasih yah atas semuanya. Andai saja
putra-putri saya memiliki hati yang penuh perhatian seperti nak Aryo tentunya
bahagia sekali hati ini” Katanya sambil mengelus air mata yang mulai berlinang
membasahi pipinya,
“Sungguh nak Aryo, saya tidak meminta uang atau pun harta,
cukup bagi saya adalah perhatian dan kasih mereka. Dan saya pun masih memiliki
sedikit simpanan, sisa setelah saya bagikan harta yang saya punyai kepada
mereka. Saya tidak ingin harta mereka..…nak Aryo, apa benar saya hanya
merepotkan?” tanyanya dengan lirih,
“Tidak pak Andi, sungguh bapak
tidak merepotkan. Malah membuat hati kami bahagia
dan kami sangat senang apalagi kami masih diberi kesempatan
untuk berbagi kasih” Jawab Aryo sambil mengusap airmata yang membasahi
pipi pak Andi, lanjutnya,
“Pak, saya dan istri telah di tinggal oleh kedua
orangtua kami masing-masing semenjak usia kami masih muda. Dan kami
berharap untuk dapat merawat mereka pada masa tuanya, namun Tuhan berkehendak
lain. Tetapi kerinduan hati kami terjawab sudah oleh-Nya, dengan merawat
bapak dan yang lainnya seakan-akan telah menghadirkan kembali sosok kedua
orangtua kami. Bapak jangan banyak memikirkan yang lain yah pak, lebih baik
bapak bersukacita dan nikmati sisa hidup ini, kami bangga dapat merawat bapak”
Dengan penuh perhatian dan kelembutan Aryo menjawab
“Iya nak Aryo, maaf bapak yang
terbawa dalam kerinduan hati….terimakasih banyak nak!
Telah menguatkan hati bapak” Pak Andi pun berucap,
“Baiklah pak, sekarang istirahat yah, mari saya bantu ke
kasur” Kata Aryo sambil mengulurkan tangannya,
“Tidak usah nak Aryo, saya harus terus belajar untuk dapat
mandiri” Kilah pak Andi, dan dengan halus menolak bantuan Aryo,
Dengan agak susah payah ia geser kursi rodanya untuk lebih
dekat pada bibir kasur, dan dengan semangat yang tinggi ia berusaha keras
merengkuh kasur dan mendorongkan badannya. Dengan usahanya yang keras akhirnya
tubuh pak Andi pun dengan lembut mendarat di atas kasur, Aryo yang sedari tadi
memperhatikan tersenyum dalam hati ia bergumam “…luarbiasa pak Andi ini,
semangat hidupnya begitu tinggi”
“Pak Andi, sekarang tidur yah, saya hendak menengok yang
lain. Selamat tidur pak Andi” Ucap Aryo sambil berlalu meninggalkan Pak Andi
dalam keheningan malam.
Malam mulai larut, namun tiba-tiba mata Pak Andi
terbuka dan ia terbangunkan dari sebuah mimpi…ada apakah ini? pikirnya
dalam hati. Ia pun merenungkan dari mimpi yang telah terjadi, dimana dalam
mimpinya, ia melihat salah satu cucunya tertabrak kendaraan dan
saat itu ia melintas di sekitar tempat
kejadian, ia memangku cucunya dan membawanya,
namun nyawa cucunya tak tertolong,
ia menghebuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuannya. Apakah arti
mipiku ini? begitulah pikirannya menerawang. Ia pun
lantas berdoa kepada Tuhan memohonkan untuk
menjauhkan hal-hal buruk menimpa semua
cucu dan anak-anaknya.
Ingatannya membawa kembali pada
perlakuan anak-anaknya terhadap dirinya dimana tiga
tahun yang lalu sebelum ia terdampar di panti asuhan ini. Ia tinggal di rumah
anaknya yang tertua yang adalah seorang pengusaha dan telah di karunia tiga
orang anak yang lucu dan manis. Namun
hanya karena ia senantiasa menyenggol perabotan hingga
suatu ketika sebuah guci kesayangan anaknya, tak sengaja tersenggol dan
akhirnya pecah. Dan ia pun masih mengingat bagaimana kata-katanya,
“Pa! tahu ngga berapa harga guci ini? di bayar dengan
seluruh uang pensiun papa pun tak akan kebayar, dasar tua bangka! Saya, untuk
mendapatkan guci ini saja sangat susah payah, tahu nggak ini barang antik dan
langka…seharusnya papa tahu diri! dan lebih hati-hati. Ini, sudah nggak bisa
apa-apa masih saja mau keluyuran, kenapa tidak diam saja di kamar?” umpat
anaknya,
“Iya nih tua bangka! Kemarin-kemarin gelas kristalku yang
berharga jutaan rupiah, kini guci antik yang harganya saja selangit. Papa kan
sudah tahu dilarang masuk ruangan keluarga, kenapa bandel juga?” Istri Ardy pun
ikut menghardiknya.
“Ma…ma..ma..maafkan papa, Ardy dan Nancy, papa hanya
ingin bermain dengan
Mitchel. Apakah_” Belum bicaranya selesai, dengan kasarnya
Ardy memotong,
“Sudah!...sudah…! Saya tidak mau dengar lagi
alasan!…mulai hari ini juga beresin pakaian papa!, Ardy sudah tidak mau melihat
papa lagi….tua bangka! Hanya merepotkan saja” Bentaknya sambil mendorong kursi
roda ayahnya menuju kamar dan membereskan seluruh pakaian ayahnya.
“Benar Pih! Aku sangat setuju dengan pendat papi” Nancy pun
turut mendukung suaminya
Ia pun membawa ayahnya ke rumah adik nya. Andryansah
adalah seorang pengacara yang banyak menangani kasus-kasus korupsi
besar dan kasus besar lainnya, namun setelah mendengar apa yang sudah terjadi
di rumah kakaknya ia pun dengan keras menolak untuk merawat ayah mereka.
Akhirnya mereka menelepon adik mereka yang bungsu, yang di wakili oleh yang
sulung.
“Halo…Devi, kamu lagi dimana?” Ardy langsung bertanya,
“Yah halo kak Ardy, ada apa kak?” Devi berkata dan kemudian
bertanya,
“Begini, kamu bisa kan datang ke rumah Andry sekarang?”
Lanjut Ardy,
“Saya lagi di mall kak! Tapi tidak jauh dari tempat kak
Andry, memang ada apa. Sepertinya serius sekali” Devi menjawab sambil
mereka-reka.
“Pokoknya kamu sekarang kesini, penting!” Perintah Ardy,
“Baik-baik Kak! Saya segera kesana” lanjut Devi dengan
sedikit kesal, namun ia menahannya sebab selama ini kedua kakaknya
selalu membantu kehidupannya, dimana suaminya hanyalah seorang pegawai
biasa yang dapat mencukupi kebiasaannya yang konsumtif.
Sesampainya di tempat Andry, tanpa basa-basi lagi mereka
sepakat untuk menyimpan papa mereka di panti asuhan dan untuk biaya selama di
sana mereka membebankan kepada papa mereka sendiri.
Sisa uang yang ada di tabungan papanya, mereka
paksa kepada papanya untuk dikeluarkan dengan alasan untuk biaya berobat.
Papanya hanya terdiam dengan perlakuan mereka dan ia hanya dapat menangis
di dalam hatinya.
Ahhhh…Aku sudah mengampuni mereka Tuhan….Aku telah
mengampuni perlakuan mereka….ampuni mereka Tuhan sebab mereka
tidak mengerti…jauhkan padaku untuk ingatan-ingatan seperti ini…Tuhan,
Engkau adalah Tuhan yang mahapengampun, ampuni anak-anak hamba-mu
ini…perbuatlah apa yang Engkau kehendaki kepada tubuh dan hidup hamba-Mu ini,
dan jangan Engkau timpakan kehangatan murka-Mu kepada anak-anakku, cucu-cucuku
dan seluruh keluarganya…cukuplah hanya kepada aku, hamba-Mu ini..ia pun
kembali berusaha untuk memejamkan matanya dan berharap sang fajar segera
menyapa tubuhnya dengan penuh kelembutan.
******
Pagi ini tidak seperti biasanya Pak Andi tidak pergi ke
halaman belakang untuk berjemur, setelah sarapan pagi ia lebih banyak berdiam
diri di kamarnya dengan sesekali berusaha membaca Kitab Suci yang agak samar
untuk di baca. Namun ia berusaha keras untuk dapat
membacanya, dengan lebih banyak menggunakan mata kirinya yang masih agak
sedikit normal, ia terus berupaya dan sesekali
terdengar permohonannya kepada Tuhan agar
diberikan kemudahan dalam membaca Kitab Suci ini. Ditengah
kekhusuannya, terdengar ketukan kecil dan suara dari balik pintu dengan penuh
kelembutan,
“Selamat pagi Pak Andi, maaf apabila saya mengganggu
sejenak” Ucap sebuah suara dari balik pintu,
Pak Andi pun menghentikan sejenak kegiatannya dan
menghampiri suara itu, dan ia pun membuka pintu sambil berkata,
“Selamat pagi, sama sekali tidak mengganggu “
“Eh, nak Pipit dan nak Aryo, silahkan masuk?” lanjutnya,
mempersilakan masuk
“Terimakasih pak Andi” Jawab Aryo “Oh, yah pak, kenalkan ini
adalah Dokter Agung dokter spesialis bedah, yang bertugas di rumah
sakit terkenal di kota ini” yang kemudian memperkenalkan seseorang kepada pak
Andi,
Pak Andi nampak kebingungan dan ini trelihat dari lipatan
yang nampak di dahinya. Dalam hatinya bertanya, “….apakah aku
hendak dioperasi, tapi apanya yang di operasi?....” Belum hilang rasa
bingungnya, pria yang bernama Agung itu kemudian menghampiri pak Andi. Dengan
berjongkok ia raih tangan kiri pak Andi dan menempelkannya di dahinya, seraya
berkata,
“Pak, saya Agung…mudah-mudahan bapak masih dapat mengingat
akan saya, dulu sewaktu saya masih kecil pernah di tolong oleh bapak”
“….” Bertambah bingung lah pak Andi setelah mendengar ucapan
itu kemudian iapun mencari-cari dalam memori ingatannya,
tentang siapakah gerangan orang yang berada dihadapannya ini.
“Maaf nak, siapa tadi?”
“Saya Agung, pak Andi”
“Agung…Agung….yang mana yah…dan yang pernah saya tolong?
Dimana dan kapan?...maaf nak Agung, sungguh saya tak dapat mengingatnya
karena, saya tidak pernah mau mengingat apa, dimana dan siapa yang telah
saya tolong dalam kehidupan saya”
“Maaf pak Andi, mungkin bapak
akan mengingatnya manakala dulu di depan Statsiun
Kereta Api tepatnya di kedai bu Wanti. Setiap makan siang bapak selalu
menyemirkan sepatu bapak kepada seorang anak kecil, walaupun sepatu bapak
masih bersih, masih saja bapak menginginkan anak itu untuk membersihkan sepatu
bapak. Selain memberi uang jasa yang sungguh pak! lebih dari tarip, bapak juga
memberikan anak itu makan siang gratis” kembali Agung berkata sambil
memceritakan sebuah kisah sebagai sarana untuk membantu ingatan pak Andi.
“Kedai Ibu Wanti….depan statsiun….anak kecil…..anak
kecil….anak kecil….tan…tan…iya..ya..saya ingat sekarang, anak
kecil yang mempunyai tanda kecoklatan dan bintik hitam di tangan
kirinya…ya..ya…,yang selalu ia sembunyikan dibalik bajunya…dimana ia
sekarang?” Dengan penuh sukacita pak Andi akhirnya dapat mengingat
kembali dan menanyakan perihal keberadaan anak tersebut,
”Pak….sayalah anak itu…dan ini lihat…” Jawab Agung sambil
memperlihatkan tanda di lengan kirinya kepada pak Andi, setelah melihat tanda
itu pak Andi menangis dengan terharunya, dan….
“Ka…kamu…Anak yang dulu…Oh..Tuhan, sungguh
luarbiasa! karya-Mu, Engkau penuh dengan
keajaiban telah mempertemukan kami kembali…..Nak,
bolehkah bapak memeluk kamu?”
“Dengan senang hati pak” jawab Agung, lantas mereka pun
berpelukan dan terasa sekali aroma kerinduan terobati disana.
“Nak, bagaimana ceritanya hingga dapat
menemukan bapak disini?” Tanya pak Andi,
“Pak Andi, mohon maaf sebelumnya bolehkah saya memanggil
bapak dengan sebutan ayah?” pintanya
“Boleh nak, dengan senang hati apabila itu membuat hatimu
nyaman” Jawab pak Andi,
“Terimakasih ayah, lima belas tahun yang lalu saat itu saya
sudah putus sekolah dan kehidupan kami sangat susah. Ayah telah meninggalkan
kami saat aku masih berumur tujuh tahun, kemudian tinggalah saya dengan ibu
yang waktu itu bekerja sebagai buruh cuci dan bersih-bersih rumah. Sampai saya
duduk di bangku kelas lima sekolah dasar saya masih dapat bersekolah, namun
saat saya duduk di kelas enam sekolah dasar, ibu sakit-sakitan sehingga tidak
dapat bekerja lagi, ibu terkena TBC. Dan saya memutuskan untuk berhenti sekolah
dan membantu ibu mencari nafkah dengan menjadi tukang semir,
yang akhirnya membawa saya bertemu dengan ayah yang
baik ini” Sesaat Agung menghentikan kisahnya untuk mngusap air mata yang
menetes di pipinya,
“Dari beberapa kali pertemuan, suatu saat ayah menanyakan
tentang sekolah dan cita-citaku, aku jawab aku telah putus
sekolah dan bercita-cita untuk menjadi seorang dokter bedah,
agar dapat mengoperasi penyakit ibu dan menyembuhkan penyakitnya. Dan ayah juga
memperhatikan perilaku saya yang selalu menyembunyikan tangan kiri, saya
waktu itu menolak dikarenakan malu, setelah ayah melihatnya, ayah bilang
jangan malu nak! Tanda yang ada di tanganmu adalah tanda dari Allah yang telah
menetapkan lewat tanganmu banyak orang yang akan engkau selamatkan. Sungguh!
Ayah kata-kata itu adalah doa bagi saya dan yang telah membangkitkan semangat
untuk giat belajar. Dan diluar dugaanku, ayah pun dengan sukarela
mau menjadi ayah angkatku. Bahkan ayah
pula yang membawa ibu berobat hingga ibu mendapatkan
bantuan pengobatan gratis dari suatu yayasan yang ayah kenal. Terimakasih
ayah, atas semua budi baikmu yang tak ternilai oleh harta bahkan nyawa
sekalipun, aku dapat menjadi seperti semua bukan karena kepintaran dan kerja
keras ku, namun semua berkat jasa dan doa dari ayah” Kembali ia mengusap
airmatanya,
“Ayah, tiga tahun yang lalu, saat saya ada seminar di kota
ini, saya mencari-cari akan keberadaan ayah. Saya
menanyakan ketempat dulu ayah bekerja, dan
mereka katakan jikalau ayah sempat dipindahkan kebeberapa kota, lalu mereka
menyarankan agar mencari data-data tentang ayah di sekertariat pensiunan. Dan
saya pun meminta alamatnya lalu saya melanjutkan pencarian tentang ayah
ke kantor sekertariat. Dari sanalah saya temukan
alamat ayah, namun sayang ternyata rumah ayah telah di
jual dan pemilik yang baru tidak mengetahui akan keberadaan ayah. Hampir-hampir
saya putus asa di buatnya, namun perjuangan saya akhirnya
membuahkan hasil juga, ini semua berkat
pertolongan Allah, seminggu yang lalu, Andi anak kami
yang baru berumur lima tahun. Di tengah malam terbangun dan ia menangis,
herannya ia mengatakan kepada kami bertemu seorang kakek duduk
dikursi roda dan memangkunya serta berkata
ini aku kakekmu. Setelah kejadian itu ia
senatiasa meminta kami untuk menemui kakeknya,
kami ajak untuk menemui ayah mertua saya, dia bilang bukan kakek yang
ini, ia bilang kakek Andi. Saya tidak
menyadari pada saat itu, jika yang dikatakan anak kami
adalah kakek yang namanya Andi, setelah saya renungkan akhirnya menemukan
jawabannya bahwa kakek yang dimaksud anak kami adalah ayah. Saya
pun mencari kembali ke kantor pensiunan ayah dan
melacak dari beberapa data mungkin ayah dirawat di sebuah rumah sakit.
Jika berdasarkan dari mimpi anak kami yang mengatakan ayah
duduk di kursi roda. Setelah dilacak melalui jaminan kesehatan
milik yayasan pensiun tempat ayah dulu mengabdi,
menunjukkan bahwa ayah pernah di rawat beberapa kali di rumah sakit yang kini
saya bekerja di sana. Dan disana terdapat data nomor telepon dari seseorang
yang bernama Ardy Firmansyah, kemudian saya menelepon nomor tersebut namun yang
menerima adalah asisten rumah tangga pak Ardy. Saya katakan bahwa, saya dari
pihak rumah sakit dan hendak menanyakan perihal kesehatan Pak Andy untuk data
asuransi. Akhirnya asisten itu menceritakan tentang ayah dan memberikan alamat
ini kepada saya” Agung pun mengahiri kisahnya yang begitu panjang,
Pak Andi terlihat menangis penuh haru dan tampak pula mata
Arya dan pipit yang sejak tadi duduk di pinggir kasur dan menyimak kisah
tersebut ikut larut dalam keharuan, dan mata mereka pun berkaca-kaca .
“Ayah, tujuan saya kemari dan menemui ayah adalah
salah satunya menunaikan amanah dari almarhumah ibu yang mengatakan kepada saya,
agar saya mencari ayah untuk mengucapkan terimakasih atas semua yang telah ayah
lakukan kepada saya dan ibu” Lanjut Agung,
“Nak Agung, nggak perlu sampai repot-repot seperti ini,
sebab sudah kewajiban kita untuk saling menolong dan berbagi bukan saja dengan
saudara dan orang yang kita kenal. Namun kepada semua sesama kita, wajib bagi
kita untuk murah hati dan ringan tangan dalam menolong
serta membantu. Dan dalam membantu terus terang,
saya tak mengharapkan pamrih apapun” Ucap pak Andi
Sebelum Agung mengucapkan kata-katanya
muncullah dari balik pintu seorang anak laki-laki dan dengan
lincahnya ia berlari dan menghampiri pak Andi, seraya memeluk kedua pahanya dan
mengucap,
“Papa..ini kakekku…” Ucapnya, dan ia pun memegang tangan pak
Andi dan menempelkan di dahinya sebagai tanda hormat,
“…….” Pak Andi hanyut dalam
kesedihan, haru dan bahagia. Ia begitu bahagia manakala
seorang anak kecil menyebutnya kakek dan
memeluknya dengan hangat, tiga tahun lamanya ia menahan kerinduan
akan cucunya hadir dan berkata “kakek” serta memeluknya, kini bagaikan hujan
sehari yang telah menghidupkan tanah yang telah mati, terobati sudah dahaga
kerinduanya oleh setetes embun di pagi hari….terimakasih Tuhan atas segala
nikmat yang telah Engkau berikan…kini aku mengerti, inilah tugas yang terakhir
dari-Mu yaitu menantikan kedatangan satu keluarga kecil yang akan menghapuskan
dahaga kerinduanku, satu keluarga yang akan menghidupkan jiwa dan hati yang
telah kering….terimakasih Tuhan atas segala kesempatan yang telah Engkau
berikan…..
Genre : Cerpen
Kreator : AR. RAHADIAN